Title : Coffee
In Rain
Author : Minhyan-ssi
Cast : Yunjae
Genre : Yaoi
Leght :
Oneshoot
Sudah sangat lama ga nulis FF, tapi semoga pada suka
sama FF ini. Maap buat typo2-nya n tulisan yang mungkin kacau.
Happy reading all…
# # # #
Tik. Tik. Tik.
Satu per satu butiran-butiran cair dari atas langit
terjun ke bumi. Banyak di antara mereka yang membenturkan diri mereka pada
kaca-kaca perumahan dan gedung perkantoran yang berdiri tegas di muka bumi. Tanpa
malu kau juga meninggalkan bekasmu di sana. Memburamkan kaca-kaca, mengahalangi
setiap pasang mata menikmati indahnya semestara dari dalam tempat mereka
berlindung darimu dan matahari.
Hey, kau! Ya, kamu, hujan! Meski dirimu tak jarang
membawa petaka, tapi bagiku kau juga bagian dari keindahan ceritaku hidupku. Sepuluh
tahun silam.
# # #
Seoul,
2004
Duar!!!!
Petir menyambar, bebarengan dengan derasnya hujan yang
mengguyur sekolah. Garis cahaya mirip sketsa garis retakan, terlukis tegas di
langit. Menyala, lalu meredup, begitu terus dengan bergantian dan
berpindah-pindah tempat, namun masih setia menyatu dengan langit. Dia indah, namun mengerikan bagi siapapun
yang terkena tamparannya. Membuatku mengurungkan niat untuk menerjang hujan,
meski waktu terus mendesakku untuk cepat-cepat pergi dari tempatku mengais ilmu
ini.
Aku mengeratkan sweater-ku.
Ah, belakangan aku memang sengaja memakainya ke sekolah karena aku tahu di
musim begini akan lebih sering turun hujan. Aku lalu menjatuhkan pantatku di
kursi di salah satu lorong sekolah sambil menunggu hujan reda. Masa bodoh
dengan ponselku yang terus menjerit-menjerit. Paling itu ibu atau kakakku yang
memintaku segera pulang. Dipikir mereka, aku ini robot apa? Yang bisa mereka
program jam sekian berangkat sekolah dan beberapa jam berikutnya sudah duduk
manis di rumah. Lagi pula, aku sudah 17 tahun! Aku bisa menjaga diriku sendiri.
Srut~
Aku menyeruput kopiku, yang kubeli beberapa saat lalu.
Lumayan untuk membunuh rasa dingin yang mulai menelan tubuhku.
“Hey.”
Suara ini, suara bass
yang beberapa waktu belakangan mengacaukan gendang telingaku. Bahkan, saat kami
tak berada sedekat ini, suaranya masih terngiang di telingaku – menghantui. Seperti
halusinansinasi yang membuatku gila. Suara itu tidak ada, namun aku merasa itu nyata.
Tapi, entah
kenapa aku malah menyukai itu semua. Benar-benar gila, bukan?
Dia lalu mengambil duduk di sebelahku.
Aku menoleh padanya. Kusunggingkan senyum termanisku
dan membalas sapaannya barusan.
“Kau belum pulang, Kim Jaejoong?” Dia bertanya.
“Ka-kau namaku?” tanyaku gugup. Kalau orang lain
mengenali namanya, itu bukan sesuatu yang aneh. Dia memang idola di sekolah ini
karena kepintarannya, ketampanannya dan ketajirannya. Tapi, bagaimana dia tahu
namaku? Kita beda kelas meski satu angkatan. Dan aku termasuk siswa yang
wajar-wajar saja, tak menonjol. Oh, God.
“Itu.” Dia menunjuk pada name tag di jasku yang masih nampak, meski aku memakai sweater.
Ya, Tuhan. Bahkan presiden pun juga tahu namaku kalau
dia melihat name tag ini. Memalukan! Aish.
Aku kembali melihat ke depan, menyembunyikan semburat malu di pipiku,
darinya.
“Kim Jaejoong, bolehkah aku minta kopimu?” tanyanya.
Mau tidak mau, aku jadi kembali melihat padanya.
“Kamu kedinginan. Dan kopi di sana sudah habis.” Aku
balas dia sambil menunjuk ke arah kantin. Dan dia tersenyum, sambil menggaruk
belakang kepala yang ku rasa itu tidak benar-benar gatal
Terlalu hafal, ku katakan begitu. Musim hujan begini,
memang hampir setiap hari daerah kami diguyur hujan lebat. Sialnya, puncaknya
langit melempar air-air itu ke bumi, saat kami pulang sekolah begini. Membuat
banyak dari para murid sekolah ini menunggu hujan reda. Termasuk aku dan Jung
Yunho di sebelahku ini.
Jung Yunho juga menyukai menunggu hujan di lorong ini.
Dan beberapa waktu belakangan ini, ia selalu duduk di sebelahku dan meminta
kopi dariku. Dan dengan alasan yang selalu sama ‘kedinginan dan kopi di kantin
habis’.
Aku lalu menyerahkan kopi yang baru kuminum sedikit
ini.
Srut~
Dia menyeruputnya pelan-pelan, sambil menatap hujan
yang turun dengan deras di luar sana.
Aku pun kembali memutar badanku – menikmati hujan di
luar sana juga. Jujur, aku tak berani bertatap muka lebih lama dengan Yunho.
Sengaja aku memberikan kopiku sesegera mungkin, tanpa keberatan. Meski
setelahnya kopi itu tak pernah kembali lagi padaku. Yang penting rasa sesak di
dada ini hilang. Karena semakin lama aku menatap Jung Yunho, akan memacu
jantungku berdebar lebih cepat berkali-kali
lipat.
Wush~
Hembusan angin yang cukup kencang semakin menambah
kengerian derasnya hujan yang bercampur dengan petir di luar sana. Sedikitnya
hembusan tersebut juga mengenai tubuhku. Aku lebih mengeratkan pelukanku pada
diriku sendiri.
Sial. Caraku ini hanya mampu mengahangatkanku beberapa
menit saja. Dingin kembali menelan tubuhku pelan-pelan. Harusnya aku punya kopi
dalam keadaan begini. Tapi –
Grep~
Mendadak aku merasakan kehangatan menyelimuti tubuhku –
menghabisi dingin yang pelan-pelan ingin menguasai diriku. Aku menunduk
sedikit, kulihat sepasang lengan kekar memelukku dari belakang.
“Apakah kau merasa lebih baik?” tanya Yunho, pemilik
suara bass yang membuatku gila belakangan ini. Lebih dekat, membuatku agak
bergidik. Pasalnya, dia bertanya dengan berbisik di telingaku.
“Ye-yeah. Kurasa begitu,” jawabku, agak gugup. Kenapa
dia begini? Tak tahukah dia, dengan sikapnya yang seperti ini malah membuat
jantungku berdebar lebih menggila lagi? Ah, tidak, kupikir bukan jantunggku
saja, tapi aku pun merasa gila karena perasaanku yang bercampur aduk sekarang;
bahagia, takut dan bermacam-macam perasaan lain.
“Aku minta maaf sudah menghabiskan kopimu. Seharusnya
kau bisa menghangatkan diri dengan kopi ini. Aku harap begini bisa menggantikan
kopimu yang kuhabiskan.”
Perasaan apa ini, ya, Tuhan? Kenapa aku merasakan juga
sebuah kenyamanan di perlakukan begini?
Chu~
Mataku terbelalak. Tiba-tiba saja Yunho mendaratkan
bibirnya di bibirku. Dan lalu secara perlahan bergerak melumat bibirku.
Rasa panik langsung saja menyergap diriku. Ini… salah.
Aku merontakan tubuhku. Tapi, Yunho semakin mengeratkan pelukannya, hingga aku
tak mampu bergerak lagi. Sial, aku terjebak dalam situasi yang membingungkan.
Aku akui Yunho seorang pencium yang hebat. Ciumannya
mampu meredam kepanikanku, dan memberi kenyamanan yang bahkan lebih daripada pelukannya tadi. Nyaris
membuatku melayang. Tapi, ini semua sangat salah. Kami bukan sepasang kekasih.
#
# #
Seoul,
2014
Hujan itu juga keromantisan yang membawa petaka.
Karena hujan hari itu, aku jadi menyadari jika aku telah mencintai Jung Yunho. Sosok
yang keesokan hari setelah hari itu, menghilang entah kemana.
Aku tak jauh beda dengan sebuah pena. Ketika dia dihadapkan
pada soal multipel choice dengan
banyak pilihan : A,B,C, D atau mungkin sampai Z sekalipun, dan ketika dia sudah
menjatuhkan pilihannya pada salah satu huruf, maka dia akan menandainya.
Penghapus pensil tak akan mampu menghapus tanda itu. Tanda itu akan tetap ada pada
huruf itu sampai kapan pun. Begitulah cintaku pada Jung Yunho.
Meski sudah sepuluh tahun berlalu, tapi aku masih
belum bisa membuka hatiku untuk orang lain.
“Masih senang menunggu hujan?”
Aku langsung menolehkan wajahku pada sumber suara.
Benarkah suara ini? Atau memang aku yang benar mulai gila karena tenggelam
terlampau jauh kedalam masa lalu? Mendadak jantungku berdebar kencang, persis
dengan ketika sepuluh tahun yang lalu.
“Ju-Jung Yunho?” ucapku ragu-ragu, masih tidak percaya.
Benarkah ini dia?
“Kau masih mengingatku rupanya.” Lantas dia mengacak
rambutku, seperti yang dia lakukan usai menciumku waktu itu.
“Bagaimana kau bisa di sini?” tanyaku penasaran. Saat
ini kami berada di loby kantor tempatku bekerja. Aku di sini sengaja untuk
menunggu hujan di luar sana reda. Dan aku tak menyangka bakal bertemu Yunho lagi
di sini, setelah sepuluh tahun.
“Perusahaan ini adalah patner kerja perusahaan appa-ku. Aku baru pulang dari Amerika,
tapi dia langsung menyuruhku mewakilinya untuk bertemu pemilik perusahaan ini.
Dia… benar-benar appa yang kejam, tak
membiarkan putranya istirahat setelah perjalanan jauh.” Dia bercerita sambil
mengeluh, menekuk bibirnya dengan lucu. Tapi, tak sedikitpun mengurangi ke
takjubpanku padanya. Bahkan semakin membuatku jatuh cinta, dengan sosok Yunho
yang lebih terlihat dewasa dan maskulin. Aish.
“Oh, ya, apa kau tak ingin minum kopi dulu? Ku pikir
hujan masih lama redanya.”
Seperti terhinoptis, aku menganggukkan saja
permintaannya.
Yunho lalu menggandeng tanganku, mengajakku ke kedai
kopi yang berada di seberang jalan dari gedung ini. Di bawah derasnya hujan,
kami berlindung di balik payung transparan yang entah sejak kapan Yunho bawa.
# # # #
“Jung Yunho, ini apa?” tanyaku, mengerutkan dahi. Aku
tak mengerti kenapa pelayan meletakkan belasan cup kopi yang mirip dengan cup-nya
kopi yang sering aku beli di sekolah sepuluh tahun lalu.
“Aku ingin mengembalikan apa yang menjadi milikmu,”
ujar Yunho.
Tanganku perlahan terulur mengambil salah satu cup dari cup-cup kopi tersebut. Sedikit rusak. Aku jadi teringat, aku pernah
memarahi Yunho karena setelah menghabiskan kopiku, dia membuang tempat kopi
tadi sembarangan lalu menginjak-injakknya.
Satu, dua, … tiga..belas. Jumlah gelas ini sama dengan
jumlah hari di manaYunho duduk di sebelahku, untuk menunggu hujan bersama-sama.
Dan tiga belas kali juga Yunho menghabiskan kopiku. Oh, God.
“Aku tak pernah benar-benar membuang cup dari kopi
milikmu. Aku mengumpulkan dan menyimpannya di kamarku.” Pernyataan Yunho ini
membuatku jadi melihat padanya lebih serius. Jadi… apakah dia berarti memiliki
perasaan yang sama denganku? Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tanpa terasa
bibirku menarik seulas senyuman.
“Tapi, sekarang aku tak mampu menyimpannya lagi.”
Deg~
Aku memudarkan seketika senyuman, meski baru saja ku
rekahkan. Dan mataku terasa menghangat.
“Dan aku ingin menyerahkan ini padamu.” Yunho
memberikan sebuah kertas.
Kedua tanganku menerimanya dengan agak bergetar. Entah
kenapa semakin lama mataku terasa semakin sembab.
Tes~
Airmataku pun ahirnya menetes juga, tanpa bisa kukendalikan
lagi. Kulihat tulisan ‘Undangan Pernikahan’ tertulis dengan cukup besar dan
jelas pada bagian luar kertas ini.
Inikah jawaban atas penantianku selama sepuluh tahun?
Jika dari awal aku tahu akan seperti ini, aku tak akan pernah berharap bertemu
lagi dengan pria bernama Jung Yunho ini, dan menjaga hatiku untukknya.
Bukan pertemuan seperti ini yang aku inginkan.
“Bukalah terlebih dahulu. Jangan murung dulu,”
perintahnya.
Aku pun membuka undangan ini dengan agak malas.
Deg~
Nama Jung Yunho dan Kim Jaejoong tertulis di sana. Kim
Jaejoong? Ya, Tuhan, ini namaku. Hey, ini namaku!
“Aku tidak bisa menyimpan sendirian cup-cup kopi ini. Karena aku ingin kita
menyimpannya bersama-sama,” Yunho lalu menggenggam tanganku. “Will you marry
me, Kim Jaejoong?”
Tentu saja aku menjawabnya “ I WIIL.”
-END-
Sumpah geje. Maaf juga yang kena tag